Oleh: Endah Lavina Sr.
Kordinator Divisi Kesehatan Pada Pacific Asia Study Center (PASCENTER), Timor Leste.
E-mail: etpacs@hotmail.com
Pengantar
Sebelumnya tulisan ini bukanlah tulisan yang hebat karena tidak berbicara tentang Marxis dan analisisnya atau tentang teori ekonominya Adam Smith atau masalah-masalah politik yang sarat dengan kalimat-kalimat asing dan konsep-konsep ilmiah yang sulit. Tulisan ini hanya pendapat dari seorang "sarjana supermi" yang kebetulan tinggal di negara baru ini.
Ketika pada suatu waktu saya berkesempatan menemani saudara perempuan saya ke Hospital Nasional Dili, saya menjumpai "fenomena" yang menarik. Seorang polisi baru saja mengantar seorang laki-laki, kurang jelas apakah kecelakaan atau perkelahian, namun yang pasti bibirnya mengalami luka dan memerlukan jahitan. Prosedur jahitan pun segera dilakukan, dan ketika prosedur tersebut selesai, dokter yang menangani berteriak "Ok , diak ona, hamrik i la'o! hau atu hare'e!" dan pasien pun berjalan berputar ke-kiri dan ke-kanan dengan gaya yang "khas" sang dokter memperhatikan tanpa menjelaskan maksud dan tujuan mengapa ia memerintahkan pasien tersebut untuk berjalan. Kejadian ini mengingatkan saya ketika saya masih kuliah di Jakarta, sewaktu ibu kost sering memanggil rombongan "topeng monyet" untuk sedikit memberikan hiburan murah meriah untuk anaknya yang masih kecil. Saya mau tak mau ikut juga menikmati "tontonan gratis" ini berhubung uang di kantong tidak mencukupi untuk sekedar menonton, "Mission Imposible"-nya Tom Cruise. Rombongan ini terdiri dari seekor monyet, tuannya, plus gendang untuk menciptakan musik pengiring. Segala persiapan dilakukan sebelum monyet beraksi termasuk mendandaninya menyerupai manusia, Dan ketika persiapan selesai si-empunya akan berteriak "Sarina pergi ke pasar!" Tak lama monyet yang kini telah cukup "cantik" berjalan berputar sambil memperlihatkan adegan lucu yang membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal. Tak hanya itu, alunan musik dari gendang pun turut memeriahkan "tarian tunggal" monyet ini.
Pembaca (mungkin) dapat melihat kemiripan antara atraksi topeng monyet tadi dengan kejadian yang saya saksikan di "Ruang gawat darurat" Hospital Nasional Dili. Bedanya cuma; tidak ada musik pengiring ketika pasien laki-laki tadi diperintahkan untuk berjalan ke-kiri dan ke-kanan. Dan jika ada maka saya pikir, ini baik bagi dokter dan para medis lainnya untuk melatih dan menjajaki profesi baru jika kelak telah pensiun.
Atau kejadian lain ketika seorang ibu yang sedang kesakitan melahirkan mendapatkan kata-kata yang cukup manis dari seorang perawat. Kalau "buat" mau, gliran keluarinnya nggak mau! Cukup manis bukan!? Sayang, tidak cukup manis buat telinga saya, mungkin juga si-ibu. "The wrong word in the wrong place", (sedikit kalimat berbahasa asing untuk meningkatkan mutu tulisan ini, ups!)
Kejadian-kejadian di atas hanya sedikit dari ribuan (atau bahkan lebih) kasus-kasus, yang jelas memperlihatkan bahwa dengan gampangnya para professional kesehatan menjadikan pasien sebagai "Kelinci Percobaan", atau mungkin sebaliknya pasien dengan gampang merelakan dirinya sebagai "kelinci percobaan" dokter dan perawat, karena mereka begitu yakin bahwa dokter dan perawat adalah "Dewa Penolong".
Arogancia dan konstruksi sosial
Tulisan yang boleh dibilang tidak cukup sistematis ini akan saya awali dengan sebuah pertanyaan sederhana: "Mengapa hal ini bisa terjadi!?" Dan berikut adalah analisis remeh saya tentang hal ini.
Pertama saya ingin mengadopsi satu kata yang akhir-akhir ini cukup popular, Arogancia yang akan saya gabungkan dengan kalimat lain sehingga berbunyi "arogancia professional kesehatan". Tanpa bermaksud sentimen atau steriotiped namun fokus pertama dari tulisan berikut adalah untuk para dokter. Saya tidak mengatakan bahwa semua dokter di muka bumi ini mengidap penyakit "arogancia", tapi penyakit ini merupakan konstruksi sosial yang dibangun di masyarakat dari sejak dahulu hingga saat ini. Jika kita membaca dongeng dan cerita-cerita sejarah dari masa lalu, sering akan kita jumpai bahwa seorang kepala suku kadang-kadang diangkat oleh masyarakat karena dianggap mempunyai keahlian menyebuhkan penyakit. Bahkan jika anda menggemari komik klasik "asterix", maka akan anda jumpai seorang dukun hebat bernama "Panoramix" yang mampu membuat ramuan-ramuan "ajaib", yang sangat diandalkan rakyat Galia dalam menghadapi serbuan pasukan Romawi. Dan penghormatan masyarakat untuk orang-orang seperti ini boleh dibilang lebih dari biasa. Yang menarik adalah orang-orang yang dianggap hebat ini sering merahasiakan kelebihannya ini.
Agaknya lingkungan seperti ini terus terbentuk dan dipertahankan hingga saat ini. Ketika saya masih kecil, pada saat ditanya ingin jadi apa kelak, maka dengan cepat saya akan menjawab! "Dokter!" Jawaban ini tentu saja bukan keluar dari lubuk hati saya yang paling dalam, namun lebih karena pandangan yang diciptakan lingkungan sekitar bahwa menjadi dokter akan: 1. Kaya dan mobilnya banyak, 2. Mendongkrak martabat keluarga atau untuk alasan sepele lainnya 3. Supaya punya banyak baju bagus seperti tante A (yang kebetulan dokter). Pandangan-pandangan seperti ini membuat siapapun meyakini bahwa menjadi dokter adalah prestasi yang terhebat dari segala sesuatu yang "hebat-hebat". Ketika saya mulai memasuki bangku kuliah di sebuah Fakultas di Jakarta dan kebetulan fakultas saya itu bertetangga dengan fakultas kedokteran, maka pandangan lain yang terbentuk adalah: 1). Menjadi mahasiswa kedokteran sudah pasti anak orang kaya, 2). Sudah pasti pintar karena ilmu kedokteran adalah "ilmu yang luar biasa" sulitnya dan hanya sanggup dipelajari oleh orang-orang pilihan. Di lingkungan praktek sendiri muncul berbagai macam permakluman bagi para dokter. Misalnya tanpa baju seragam pun dokter diperkenankan menjalankan tugasnya, sedangkan para medis yang lain diwajibkan mengenakan seragam. Demikian juga dengan tulisan, ketika saya melakukan kerja praktek di salah satu rumah sakit di Jakarta banyak pasien dan perawat yang mengeluh karena mengalami kesulitan dalam membaca instruksi atau resep yang ditulis oleh dokter. Tetapi keluhan itu buru-buru ditepis dengan kalimat, "Ah,... maklum dia kan orang sibuk, jadi pasti buru-buru dalam menulis!" atau "Yah... inilah tulisannya orang pintar." Glorius Yesus! Sebuah permakluman yang putus asa, saya kira! Pandangan dan konstruksi sosial semacam inilah yang menyebabkan, baik disadari atau tidak memunculkan arogancia dikalangan para dokter.
Ilmu kedokteran adalah ilmu yang sulit dan sakral?
Ilmu kedokteran adalah ilmu yang sulit! Benarkah? Ada berbagai versi jawaban ketika saya menanyakan tentang hal ini kepada beberapa teman baik itu yang tidak mempelajari ilmu ini maupun mereka yang secara langsung terlibat mempelajarinya. Jawaban-jawaban tersebut antara lain karena: 1). Lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pendidikan dalam bidang ini. 2). Tebalnya buku-buku yang harus dibaca. 3). Ilmu ini berhubungan langsung dengan nyawa seseorang dan masih banyak lagi. Saya tidak menyangkal bahwa jawaban-jawaban tersebut mungkin ada benarnya, namun banyak juga kelemahannya. Salahnya satunya adalah kalau lamanya masa pendidikan menjadi penentu tingkat kesulitan sebuah ilmu, maka bagaimana dengan seorang mahasiswa teknik pertambangan yang meyelesaikan kuliahnya selama 9 tahun, berhubung dengan banyaknya kegiatan magang di KALTEX dan PT. MIGAS. Jika tingkat kesulita sebuah ilmu memang benar diukur dari masa studynya, maka saya juga dapat katakan bahwa, ilmu pertambangan adalah ilmu yang sulit! Tentu saja ini bukan cuma sekedar angin lalu karena toh anggapan bahwa betapa sulitnya ilmu kedokteran, cukup membuat para individu yang terlibat didalamnya merasa "pintar" (padahal sesungguhnya ilmu kedokteran adalah ilmu hafalan biasa yang siapapun bisa mempelajarinya kalau ada niat dan bakat serta tentunya kalau mendapatkan kesempatan). Begitu sakralnya ilmu ini, anggap saja seperti sebuah ilmu silat sakti "ajian serat jiwa"-nya Brama Kumbara atau "ajian monyet teler"-nya Wiro Sableng maka ilmu ini menjadi sangat tertutup dan hanya pemiliknya saja yang tahu menggunakannya di samping masyarakat kebanyakan yang akibat berbagai pandangan tadi menjadi lebih dahulu menyerah sebelum mempelajarinya.
Akhirnya kondisi yang tercipta adalah dokter semakin menguasai ilmunya sedangkan masyarakat semakin menjauh dari ilmu yang "sebenarnya tidak menakutkan" ini. Dan ketika terjadi interaksi antara dokter dan pasien maka dokter menganggap bahwa pasien adalah manusia yang tidak tahu apa-apa yang kebetulan sakit dan hanya dia-lah satu-satunya orang yang mampu mengobati sehingga ia bebas memerintahkan berbagai macam instruksi tanpa perlu berdiskusi dengan pasiennya. Kebiasaan ini memicu berbagai kasus yang sempat muncul seperti ketika seorang pasien merasa dilecehkan oleh para medis di sebuah rumah sakit, dan kita semua dapat saksikan bahwa pembelaan berat sebelah dan memihak lebih memenangkan pelaku daripada korbannya. Kalimat klise seperti "...telah sesuai dengan prosedur" dengan gampangnya dikeluarkan. Korban yang di lain pihak tidak mengetahui apapun tentang prosedur tidak dapat berbuat apa-apa kecuali harus memakluminya. Fakta di atas juga hendak menjelaskan bahwa pasien merasa sebagai manusia yang bodoh dalam bidang ini, dan hanya akan menuruti apa yang diperintahkan oleh dokter.
Perawat dan kemitraan
Untuk menciptakan rasa keadilan, maka ada baiknya saya juga singgung sedikit sebuah sebuah profesi yang "katanya" merupakan mitra dokter. Saya adalah seorang pembaca Marx yang payah, untuk memahami karya tokoh besar yang satu ini rasanya memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, dan sampai saat inipun saya tidak tahu apakah saya telah memahaminya dengan baik. Namun pembaca tidak akan saya libatkan lebih jauh dalam perdebatan mengenai teori-teori Marx, karena saya hanya meyakini satu hal bahwa Bapak Marx adalah pembela kaum tertindas. Lalu apa hubungannya dengan perawat, tanpa perlu berbasa-basi saya akan katakan bahwa dalam profesi kesehatan perawat adalah kaum tertindas. Mengapa demikian? Akan sangat panjang ceritanya jika saya uraikan dari awal, untuk itu saya akan lebih mempersingkat tanpa mengurangi makna sebenarnya. Kenyataan jelas yang dapat dilihat adalah jika kita menghitung upah yang diterima dengan jam kerja yang harus ditempuh dalam satu hari. Sangat tidak sebanding! Saya tidak akan menyebut jumlah (karena sudah pasti kecil) namun jika diterapkan pada masyarakat Timor Lorosa'e yang kebanyakan hidup secara extended family, tentulah pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk mencapai hidup sejahtera. Dari segi pendidikan, jarang sebuah institusi pendidikan keperawatan yang menekankan pentingnya analisis, peserta didik hanya dilatih untuk berpikir bagaimana mengerjakan sejumlah keterampilan khusus tanpa diajarkan lebih jauh makna dan tujuannya. Kondisi demikian tidak lain akan menciptakan robot-robot yang hanya akan bekerja jika diperintah atau menjalankan kegiatan sebatas rutinitas belaka. Jika sudah demikian memang akan sangat sulit menjalin kemitraan di lingkungan kerja dengan para dokter, yang ada kemudian hanyalah "atasan memerintah bawahannya" dan dalam hal ini perawat adalah bawahan dokter. Pengakuan sebagai profesi pun sampai saat ini masih tanggung-tanggung diberikan. Dan label sebagai "pembantu" dokter sepertinya sangat pas dan aneh rasanya kalau label ini kemudian diubah menjadi mitra. Jangankan bermitra dengan dokter bermitra dengan pasien pun akan mejadi sangat sulit. Seringkali karena telah menjadi rutinitas perawat mengerjakan sesuatu tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu kepada pasiennya. Pasien dianggap sebagai obyek yang menjadi beban dan tugas hari ini dan harus ditanggani secepatnya. Padahal sebagai ujung tombak dari sebuah rumah sakit, keberadaan perawat yang hampir 24 jam mendampingi pasien merupakan momen yang sangat tepat untuk memberikan pendidikan kesehatan bagi pasien dan kesempatan baik pula bagi pasien untuk mengetahui berbagai informasi kesehatan dari perawat, minimal tentang penyakit yang dideritanya. Di lain pihak pasien juga menganggap bahwa apa yang dilakukan perawat sudah pasti benar. Beban hidup, upah yang tidak seimbang, rutinitas dan jam kerja yang panjang serta tuntutan untuk selalu menjalankan setiap instruksi dari atasan menjadikan lingkungan kerja bagi seorang perawat terasa begitu melelahkan. Dalam keadaan yang demikian kontrol emosi merupakan tugas berat yang harus diemban. Jadi tidak heran jika suatu hari ada kejadian perawat menjadi lepas kontrol. Namun sekali lagi, ini pun bukan tindakan yang harus dimaklumi!
Apa yang perlu dilakukan?
Semua masyarakat harus diberi kesempatan dan fasilitas yang sama oleh pemerintah untuk mempelajari ilmu kesehatan pada umunya, sehingga para dokter dan perawat tidak lagi dianggap sebagai dewa penyelamat satu-satunya, melainkan masyarakat menjadi partner dokter dan perawat untuk mengatasi masalah kesehatan yang di hadapi. Salah satu contohnya misalnya, pemerintah perlu menyediakan buku-buku kesehatan, minimal di setiap suku agar masyarakat memiliki akses untuk mempelajarinya. Atau pemerintah perlu mengadakan training-training dalam hal kesehatan, minimal di setiap sub-distrik agar masyarakat setempat memiliki pengetahuan untuk mengatasi kesehatan dasarnya sehari-hari.
Masyarakat perlu mendekonstruksi pandangan-pandangan yang selama ini menganggap bahwa ilmu kedokteran adalah ilmu yang sakral, ilmu kedokteran harus dianggap sebagai ilmu pengetahuan biasa yang penting untuk dipelajari oleh siapa pun, kendati tidak harus digelari sebagai seorang dokter atau berprofesi dokter. Ilmu kedokteran perlu dianggap sebagai sebuah pendidikan popular karena menyangkut kehidupan sehari-hari.
Para dokter dan perawat harus menjadi mitra kerja yang saling melengkapi secara adil sebelom menjadi mitra pasien dan masyarakat pada umumnya. Para dokter dan perawat perlu meningkatkan pengetahuannya dalam hal bagaimana bermitra dengan para pasien agar perilaku dokter dan perawat yang selama ini selalu menganggap bahwa dirinya superior dan tahu segalanya bisa dihindari. Dalam hal ini diperlukan kerendahan hati untuk bagaiman secara terbuka, perawat dan dokter menularkan ilmunya kepada pasien (dan akan lebih baik lagi, kepada lingkungan sekitarnya) tentunya dengan bahasa yang sederhana dan pendekatan sosio-antropologis agar mudah diterima. Sebaliknya masyarakat perlu meningkatkan pengetahuan dalam hal kesehatan agar jangan mau dijadikan obyek atau "kelinci percobaan" para dokter dan perawat melainkan menjadi mitra diskusi untuk mengatasi sebuah penyakit.
Pendidikan moral dan mental bagi perawat dan dokter kiranya dapat menjadi perhatian, terlebih dalam bagaiman memandang pasien sebagai manusia secara holistic dan bukan sebagai obyek. Dengan demikian ketegangan antara keduanya dan hal-hal yang tidak semestinya terjadi (terutama di lingkungan rumah sakit), dapat dihindari. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana mengutamakan dialog atau komunikasi yang baik antara pasien dan dokter atau perawat.
Mengharapkan keterlibatan dari pemerintah saja tentulah tidak efektif untuk mengatasi kondisi "buta-sehat" dalam masyarakat. Partisipasi dari masing-masing individu profesi kesehatan dan organisasi non pemerintah untuk memulai sedikit demi sedikit mengajarkan berbagai ilmu kesehatan popular sangat di harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar